Pages

Kamis, 06 Oktober 2011

Pendudukan Jepang di Indonesia


Pemerintah Pendudukan Jepang

Kedatangan pasukan Jepang di Indonesia, pada umumnya disambut oleh masyarakat Indonesia sebagai pahlawan pembebas daripada sebagai pasukan agresor. Bahkan di beberapa tempat di luar Jawa, tidak sedikit kalang nasionalis pribumi yang membentuk perlawanan terhadap Belanda menjelang datangnya serangan Jepang. Di Aceh misalnya, para ulama Islam Aceh yang tergabung dalam “Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh” (PUSA-dibentuk tahun 1939) di bawah pimpinan Tengku Mohammad Daud Beureu’eh (1899-1987) telah menghubungi Jepang untuk membantu serangan Jepang terhadap Belanda. Di Minangkabau, para ulama secara tidak langsung juga membantu pihak Jepang dan berharap dapat menyaksikan terdepaknya para penghulu dari kekuasaannya.

Sebagai balasannya, pada awal kekuasaannya, pemerintah Jepang banyak memberikan keleluasaan kepada kaum pribumi, seperti mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mengambil alih tanah-tanah perkebunan milik pengusaha Belanda. Sedangkan untuk memusnahkan pengaruh Barat, Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris, serta berupaya memajukan pengajaran bahasa Jepang. Selain itu, kalender Jepang juga diberlakukan menggantikan kalender Masehi.
Akan tetapi dalam situasi peperangan, Jepang harus memilih prioritas-prioritas tertentu. Mereka cepat melakukan reorganisasi pemerintahan setempat dan memadamkan benih-benih revolusi yang mucul di beberapa daerah seiring dengan runtuhnya Hindia Belanda. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Jepang terpaksa harus bersandar kepada para ambtenar dari masa kolonial Belanda seperti; uleebalang, di Aceh, penghulu di Sumatera Barat, para raja di Sumatera Timur, dan kaum priyayi di pulau Jawa.
Sebagai catatan, Jepang telah membentuk tiga tentara wilayah, satu untuk Birma (Myanmar), dua untuk Indonesia dan Malaysia. Tentara ke-14 di Filipina dan Tentara Garnisun di Muangthai langsung di bawah Panglima Tentara Selatan. Tentara-tentara di wilayah Indonesia disusun sebagai berikut:

1. Pulau Sumatera di bawah Tentara Angkatan Darat (Rikugun) ke-25 yang bermarkas di Bukittinggi, Sumatera Barat

2. Pulau Jawa dan Madura di bawah Tentara Angkatan Darat ke-16, yang bermarkas di Jakarta. Kedua wilayah ini berada di bawah komando Angkatan Darat Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura.

3. Kalimantan dan Indonesia bagian Timur lainnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut (Kaigun) Armada Selatan ke-2 yang bermarkas besar di Makasar. Dengan adanya pembagian ini tidak berarti bahwa di bagian Indonesia Timur tidak ada pasukan Rikugun. Di Maluku misalnya ditempatkan Tentara ke-19 dan di Irian Utara ditempatkan Tentara ke-2. Namun berbeda dengan Tentara ke-16 atau ke-25, Tentara angkatan darat di daerah ini tidak mempunyai tugas administratif, karena tugas itu dipegang oleh angkatan laut.

Pada masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh kepala staf tentara/armada sebagai seorang gubernur militer (gunseikan). Kantornya disebut Gunseikanbu. Banyak orang Indonesia yang diangkat menjadi pegawai pemerintah untuk mengisi tempat yang ditinggalkan oleh pejabat-pejabat Belanda, baik karena ditawan atau melarikan diri. Kebanyakan dari pejabat baru adalah berkebangsaan Jepang. Sedangkan bangsa Indonesia yang menjadi pejabat baru bangsa, umumnya mantan guru, termasuk guru agama Islam. Bahkan Jepang pernah mengangkat seorang kyai tradisional dari pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi, yaitu Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi sebagai wakil residen Bogor. Menurut sejarawan Harry J. Benda, hal itu merupakan satu fenomena yang menarik, yang belum pernah terjadi sebelumnya, seorang pribumi menduduki jabatan lebih tinggi dari jabatan bupati (Benda 1980). Hal ini menunjukkan bahwa Jepang mempunyai harapan khusus terhadap para ulama Islam, terutama dalam memobilisasi masyarakat Indonesia, yang diyakininya beragama Islam. Untuk keperluan itulah pada akhir Maret 1942, Jepang mendirikan sebuah kantor urusan agama (Shumubu) di Jawa.

Meskipun para ulama atau para mantan guru itu dinilai loyalitasnya cukup tinggi daripada para priyayi, uleebalang atau penghulu, namun umumnya mereka tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman apa-apa dalam birokrasi pemerintahan. Akhirnya para pejabat lama terpaksa direkrut kembali untuk menduduki jabatan lamanya.
Kebijakan di antara ketiga wilayah pemerintahan militer itu sangat berbeda. Umumnya Jawa dianggap sebagai wilayah yang secara politik dinilai paling maju dan dayanya yang utama adalah manusia. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan Jepang di wilayah ini dapat membangkitkan kesadaran nasional yang jauh lebih mantap dibandingkan dengan kedua wilayah lainnya. Meskipun demikian, secara ekonomi Jawa nilainya kurang penting, dibandingkan wilayah Sumatera dan Kalimantan yang kaya akan minyak dan beberapa sumber pertambangan lainnya yang sangat dibutuhkan industri perang Jepang. Akan tetapi karena pentingnya arti perkembangan masa depan, maka Jawa mendapat perhatian ilmiah yang lebih besar daripada pulau-pulau lainnya. Sementara wilayah di bawah angkatan laut, secara politik dianggap terbelakang walaupun mempunyai arti ekonomi yang tinggi. Pemerintahan militer di wilayah ini cenderung bersifat sangat menindas dibandingkan di wilayah Jawa.

Salah satu upaya yang ditempuh pemerintahan Pendudukan Jepang untuk mencari dukungan sekaligus melibatkan bangsa Indonesia dalam peperangannya adalah melalui propaganda. Untuk keperluan itu maka pada bulan Agustus 1942 Jepang membentuk Departemen Propaganda (Sendenbu). Secara resmi disebutkan bahwa lembaga ini merupakan organ yang terpisah dari Seksi Penerangan Angkatan Darat. Namun dalam praktiknya lembaga ini selalu dipimpin oleh para perwira Angkatan Darat, seperti: Kolonel Machida Keiji (Agustus 1942 – Oktober 1943), Mayor Adachi Hisayoshi (Oktober 1943 – Maret 1945), dan Kolonel Takanashi Koryo (April 1945 – Agusyus 1945). Di bawah lembaga ini kemudian dibentuk “Gerakan Tiga A” di bawah pimpinan Mr. Syamsuddin, kemudian “Poetera” di bawah “empat serangkai”, dan “Jawa Hokokai” serta “Sumatera Hokokai”. Organisasi propaganda yang disebut terakhir ini mempunyai alat organisasi sampai tingkat desa yang disebut tonarigumi (Rukun Tetangga yang berkembang sampai sekarang). Melalui tonarigumi inilah dilakukan pengorganisasian, mobilisasi, indoktrinasi dan pelaporan rakyat Jawa atau Sumatera. Sejak bulan Februari 1944, para kepala desa menjalani kursus-kursus indoktrinasi. Melalui tonarigumi pula terjadi pengerahan para “pahlawan pekerja”, yang lebih dikenal dengan nama romusha.
Lembaga Sendenbu ini mempunyai 3 seksi, yaitu: (1) Seksi Administrasi, (2) Seksi Berita dan Pers, dan (3) Seksi Propaganda. Pada tahun 1943 lembaga ini membantu terbentuknya Keimin Bunka Shidosho (Lembaga Kebudayaan).

Keimin Bunka Shidosho dibentuk pada 1 April 1943. Peresmiannya dilakukan oleh Gunseikan tanggal 18 April 1943. Dalam kesempatan itu ia menyebutkan bahwa tujuan Pusat Kebudayaan itu antara lain: (1) menghapus kebudayaan Barat termasuk faham kesenian yang tidak cocok dengan sikap ketimuran, (2) membangun kebudayaan Timur untuk dijadikan dasar bagi memajukan bangsa Asia Timur (Raya), dan (3) menghimpun para seniman untuk membantu tercapainya kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Untuk yang disebut terakhir, pemerintah Jepang memenga merekrut para seniman, termasuk para pelukis. Bahkan menerbitkan karya-karya mereka.

Berdasarkan pernyataan itu, seolah-olah pemerintah Jepang menginginkan terpeliharanya dan sekaligus berkembangnya kebudayaan asli Indonesia dengan cara melenyapkan pengaruh Barat. Namun di sisi lain tersirat bahwa Jepang akan berusaha untuk menanamkan dan menyebarkan seni dan budaya Jepang, terutama dalam materi pendidikan dan kursus-kursus pelatihan guru (Syotah Kyohin Rensei) yang didirikan pada bulan Juni 1942. Dalam perkembangannya Pusat Lembaga Kebudayaan itu juga seperti Volkslectuur di zaman Hindia Belanda, yaitu berfungsi sebagai alat sensor terhadap karya-karya para seniman Indonesia. Buku-buku yang diterbitkan oleh lembaga itu hanyalah karya yang sesuai dengan kepentingan perang Jepang. Beberapa karya mencerminkan hal ini, misalnya karya: A. Kartahadimadja berjudul “Sebuah Bingkisan” yang dimuat dalam Djawa Baroe. Kemudian karya Soetomo Djauhar Arifin “Pemuda Pantjaroba” dan karya Karim Halim, “Arus Mengalir” yang juga dimuat dalam media yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar