Pages

Kamis, 06 Oktober 2011

BUNG KARNO


MUNCUL DAN JATUHNYA BUNG KARNO[1]




Perjalanan panjang pelaksanaan demokrasi di Indonesia sejak kemerdekaan banyak mengalami pasang surut. Demokrasi rakyat dilaksanakan tahun 1955 lewat pemilihan umum dan karena terlalu demokratis, jumlah partai meningkat dari 19 menjadi 28. Di antara empat partai terbesar adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Dari hasil pemilu ini, maka terbentuklah konstituante yang mulai bersidang tanggal 10 Nopember 1956. Pada persidangan-persidangan selanjutnya, ternyata tidak dapat dicapai kata sepakat untuk menetapkan UUD Negara.[2] Kemudian tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato di depan sidang Konstituante dan atas nama pemerintah menganjurkan agar supaya dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, konstituante menetapkan saja UUD 1945, menjadi UUD RI yang tetap. Akan tetapi usulan pemerintah tersebut ternyata ditolak.[3] Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorongn Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah timbul: “Keadaan ketatanegaraan yang membahayakan”. Itulah sebabnya demi keselamatan nusa dan bangsa, maka pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 jam 17.00 diumumkan Dekrit Presiden mengenai Pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka Demokrasi Terpimpin.[4]

Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin secara formal berlaku setelah diumumkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959. Oleh karena itu, secara resmi pula Indonesia menggunakan sistem Demokrasi terpimpin yang di dalamnya juga termasuk pelaksanaan dari sistem Ekonomi Terpimpin itu sendiri. Bagaimana hubungan antara Demokrasi Terpimpin dengan Ekonomi Terpimpin? Antara keduanya merupakan suatu sistem yang saling mendukung. Dalam membicarakan persoalan politik dan ekonomi Indonesia, maka tidak akan lepas dari persoalan yang hakiki dari bangsa Indonesia. Persoalan hakiki tersebut adalah masalah kepribadian bangsa Indonesia. Itulah yang dinamakan ‘gotong royong’. Bung Karno, dalam kaitannya dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya, mengatakan, bahwa gotong royong merupakan landasan dasar kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem yang tegas dan jelas untuk merealisasikan kepribadian itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang memberikan suatu pimpinan dan manajemen ke arah tujuan yang satu,
yaitu masyarakat yang berkeadilan sosial.[5]
Memang, suatu sistem demokrasi dimaksudkan untuk menciptakan suatu kestabilan tatanan masyarakat baik ekonomi, politik, maupun sosial. terciptanya demokrasi yang stabil diperlukan adanya syarat-syarat sosial ekonomi yang stabil pula. Itulah sebabnya, dalam rangka stabilisasi dalam Demokrasi Terpimpin diperlukan syarat ekonomi yang stabil dan mendukung sistem demokrasi tersebut, yaitu sistem Ekonomi Terpimpin menuju masyarakat adil dan makmur.
Hubungan uraian ini dengan Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin sangat erat. Demokrasi terpimpin adalah pelaksanaan politik, sedangkan Ekonomi Terpimpin adalah pelaksanaan dari paham gotong royong. Jadi, demokrasi Terpimpin adalah cermin dari Ekonomi Terpimpin di lapangan politik.
Dengan demikian berlakunya Demokrasi Terpimpin diindikatori oleh perkembangan dari Ekonomi itu sendiri. Sampai sejauh mana perkembangan perekonomian terpimpin, akan menunjukkan keberhasilan sistem Demokrasi Terpimpin dalam mencapai tujuannya.
Seperti diketahui, hal-hal yang mendorong Soekarno untuk bertindak lebih jauh ini, adalah kondisi negara yang cukup lemah. Dengan tegas Bung Karno mengatakan, bahwa liberalisme dan individualisme gaya Barat harus dibuang, karena merupakan sumber dari segala malapetaka yang telah menimpa dalam dasawarsa yang lalu.[6] Dikatakan pula:

Sebelum tahun 1959, Revolusi kita pernah “op drift”. Pernah kleyarkleyor. Pernah kintir tanpa arah, dan pernah keblinger puter-puter. Hal ini merupakan ancaman terhadap kestabilan politik dan ekonomi sebelum diberlakukannya Demokrasi Terpimpin. Ancaman ini memang cukup beralasan, karena terbukti keadaan politik negara selalu kacau dengan jatuh bangunnya kabinet dan tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah. Kondisi yang buruk ini juga merupakan salah satu warisan kolonial, juga terbuangnya kesempatan-kesempatan selama sebagian besar masa demokrasi Parlementer tahun 1950-1959 untuk membangun bangsa dan negara. Karena itulah Bung Karno berusaha mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang berpecah belah itu ke dalam suatu kesatuan bangsa melalui konsep Demokrasi Terpimpinnya.[7]

Pengertian Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi dengan pengakuan adanya pimpinan. Bukannya pimpinan untuk menghilangkan demokrasi, akan tetapi terpimpinnya untuk melawan sifat-sifat liberalisme dari demokrasi tersebut. Tujuan utamanya adalah menyingkirkan perusak-perusak demokrasi berdalih demokrasi, yang dengan demikian berbuat anarki dan pengacauan. Demokrasi Terpimpin menurut istilah UUD 1945 adalah demokrasi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam mempunyai dua unsur, yaitu: unsur ‘demokrasi’, dan unsur ‘terpimpin’. Kedua unsur ini tidak boleh dipisahkan, karena keduanya merupakan unsur yang bergandengan mutlak satu sama lain. “Demokrasi” saja bisa menyeleweng ke liberalisme, dan “Terpimpin” saja bisa menyeleweng ke diktator fasis. Demokrasi Terpimpin merupakan alat untuk mencapai cita-cita revolusi yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Bung Karno yang selalu mengatakan bahwa revolusi belum selesai perlu memberi arah yang jelas untuk mencapai maksud tersebut, seperti dikatakannya dalam pidato:

Sekarang roda revolusi sudah berputar kembali atas dasar hukum-hukum klasik dari semua revolusi. Apakah hukum-hukum klasik daripada revolusi itu? Satu: Tiada revolusi jikalau ia tidak menjalankan konfrontasi terus menerus. Dua: Tiada revolusi jikalau ia tidak berupa satu disiplin di bawah satu pimpinan.

Jadi pada dasarnya, revolusi yang dicita-citakan itu akan selalu mengandung antitesa-antitesa dan konfrontasi-konfrontasi, akan tetapi semuanya itu tetap berada di bawah satu pimpinan.Timbul pertanyaan, apakah dasar hukum dari tindakan Dekrit ini? Muh. Yamin, mengatakan bahwa Dekrit Presiden ini didasarkan pada “hukum darurat”, yang disebut pula sebagai “hukum darurat ketatanegaraan”. Meskipun Dekrit ini merupakan suatu tindakan darurat, namun kekuatan hukumnya juga bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia, terbukti dari persetujuan DPR hasil pemilu 1955 yang secara aklamasi diputuskan pada tanggal 22 Juli 1959.

Setelah dekritnya diumumkan, maka Bung Karno menjadi pusat kekuasaan. Namun demikian Presiden tidak merupakan satu-satunya sumber kekuasaan. Presiden akan mengetahui pembicaraan-pembicaraan yang menggunakan cara musyawarah untuk sampai kepada pengambilan keputusan secara sepihak apabila musyawarah gagal mencapai kata sepakat. Berdasarkan gaya politik yang baru itu, semua lembaga negara harus “diretul”, artinya disesuaikan dengan cara-cara politik Demokrasi Terpimpin.

Untuk menundukkan parlemen, dalam bulan Januari 1960 Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden No. 7/1959 mengenai “Persyaratan dan penyederhanaan Partai-partai” yang menetapkan bahwa semua partaipartai harus secara formal menerima baik UUD 1945, Pancasila, dan Manipol / USDEK, harus mempunyai anggota sekurang-kurangnya 150.000 orang di 65 distrik dan tak boleh menerima bantuan luar negeri. Beberapa tindakan politis yang diputuskan pemerintah, semakin menjadikan Soekarno ini menjadi pemimpin Besar. Maka tidak heran bila pada awal Demokrasi Terpimpin ini ternyata mendapat tantangan dari
beberapa politisi senior seperti Hatta dan Natsir, yang mengecam Soekarno, karena dengan tindakan Soekarno ini, menjadikan sendi demokrasi yaitu kebebasan partai menjadi hilang.[8]

Munculnya Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya ini terdapat serangkaian kondisi subjektif yang memperlihatkan variabel-variabel yang ruang lingkupnya langsung menyentuh kepentingan Presiden Soekarno dan Angkatan Bersenjata (Angkatan Darat). Variabel ini tercermin dari keinginan Soekarno untuk memainkan peranan yang lebih besar dan berarti dari pada sekedar lambang. Hal ini diakuinya sendiri ketika ia mengatakan: “I am chief executive and no longer just a symbolic head of state”. Munculnya Soekarno juga mendapat tambahan dukungan dari kedua kekuatan besar yang rapi, yaitu TNI dan PKI.24 Akan tetapi, Soekarno yang terlalu asyik dengan permainan akrobatik antara TNI dan PKI dengan G-30-S/PKI nya, yang sekaligus menamatkan riwayat Demokrasi Terpimpinnya.
           


[1] Makalah disampaikan pada acara Bedah Buku Revolusi Belum Selesai dan Diskusi Sejarah. Oleh Forum Mahasiswa Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman Puwokerto, tanggal 29 September 2003.
[2] Pembukaan sidang diawali oleh pidato Presiden Soekarno, agar konstituante bisa menyusun dan menetapkan UUD RI, tanpa adanya pembatasan masa kerja. Lihat: Presiden Soekarno, Susunlah Konstitusi yang Benar-benar Respublica, Kementrian Penerangan, Cet. II. Lihat pula: TB. Simatupang, 1980. Peranan Angkatan Perang Dalam Negara Pancasila Yang Sedang Membangun, Jakarta: Idayu, hal. 22. Tentang perbedaan pendapat dalam konstituante ini ada tiga, yaitu pendapat tentang dasar negara Sosialistis, dasar negara Islam, dan dasar negara Pancasila.
[3] Sebelum Konstituante menolak atau menerima usulan Pemerintah itu, terlebih dahulu dari blok Islam datang usul amandemen untuk menambahkan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di dalam UUD 1945, akan tetapi usul tersebut tidak disetujui dalam sidang.
[4] Memang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu pada hakekatnya adalah satu pukulan canang, satu ‘sein’ untuk mengadakan herordening total. “Tinggalkan sama sekali segala konstruksi dari alam liberalisme itu, tinggalkan sama sekali UUD Sementara 1950, dan masuklah sama sekali dalam revolusi sebagai alat perjuangan dan kibarkan sama sekali bendera Demokrasi Terpimpin”. Demikian Bung Karno mengibaratkan Dekrit Presiden tersebut. Lihat: Manifesto Politik Indonesia, Amanat Presiden Soekarno tahun 1959. Demokrasi Terpimpin itu berdasarkan atas faham dari massa untuk massa, yaitu menarik keinginan massa dan disimpulkan lalu terdapat keputusan dan dikembalikan kepada massa. Tentang perjalanan ide Demokrasi Terpimpin dari Bung Karno ini bisa dibaca pada: Imam Sudjono, “Demokrasi Terpimpin dan Bagaimana Pelaksanaannya”, dalam Mimbar Indonesia,
[5] “Tahun Ketentuan”, dalam Amanat Tahunan, tahun 1957. Selanjuynya Bung Karno mengatakan, bahwa jaganlah kita mengimpor dan mengoper demokrasi liberal yang tidak cocok dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Ini berarti bahwa demokrasi Indonesia haruslah demokrasi yangn terbimbing atau demokrasi yang terpimpin yang tidak berdiri di atas paham-paham liberalisme.
[6] Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES, hal. 257. Tentang malapetaka dalam dasa warsa yang telah lalu itu dikatakan oleh Bug Karno, bahwa Indonesia telah terjebak dengan Demokrasi Liberal gaya Barat yang dikatakannya sebagai ‘penyelewengan’ terhadap revolusi Indonesia.
[7] Konsep Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin dan kemudian program Manipol Usdeknya merupakan usaha-usaha Soekarno untuk mengatasi kemacetan tersebut.
[8] Masa Demokrasi Terpimpin ini sering digambarkan sebagai masa yang “demokrasinya telah hilang”, yang tinggal hanya terpimpinnya, sehingga telah terjadi cacat demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar