Peraturan dan Regulasi UU ITE
Di Indonesia, UU
ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) pertama
kali disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo
Bambang Yudhoyono pada tahun 2008. Dengan pertimbangan bahwa arus globalisasi
informasi yang begitu populer dengan dukungan internet, telah menempatkan
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global yang berkontribusi dalam arus
informasi dunia. Sehingga pemerintah merasa perlu membangun aturan yang
berkenaan dengan pengelolaan teknologi komunikasi dan transaksi elektronik demi
menjaga stabilitas ditengah masyarakat Indonesia yang kini sudah menjadi bagian
dari globalisasi. Dengan adanya regulasi yang mengatur penggunaannya, pemerintah
mengharapkan adanya optimalisasi pembangunan teknologi informasi, agar
distribusinya bisa merata, menyebar, dan menyentuh seluruh lapisan kalangan
masyarakat demi mencerdaskan serta memajukan kehidupan masyarakat dan negara.
*) Regulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan.
Regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan
perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan
yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan
mengikat umum.
Batas
penggunaan teknologi informasi menurut UU ITE
Mengingat luasnya
pengaruh teknologi informasi di Indonesia, lahirlah UU ITE yang menjadi alat
bagi pemerintah untuk mengontrol penggunaan hingga penyalahgunaan teknologi
informasi maupun transaksi elektronik. Cakupan UU ITE dapat dilihat dari struktur UU ITE,
yaitu :
Bab 1 dalam UU ITE
ini membahas mengenai ketentuan umum UU ITE itu sendiri, terdiri dari pasal 1
dan pasal 2.
Bab2 membahas
perihal asas dan tujuan UU ITE, terdiri dari 2 pasal, yakni pasal 3 dan 4.
Bab 3 membahas
mengenai informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik, terdiri dari pasal 5,
6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12.
Bab 4 dari UU ini
membahas mengenai penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik,
terdiri dari 2 subbab. Subbab pertama mengatur tentang sertifikasi elektronik,
terdiri dari pasal 13 dan pasal 14. Subbab kedua mengatur mengenai penyelenggaraan
sistem elektronik, terdiri dari pasal 15 dan pasal 16.
Bab 5 mengatur
seputar transaksi elektronik yang terkandung dalam pasal 17, 18, 19, 20, 21,
22.
Bab 6 mengatur
berkenaan dengan nama domain, kekayaan intelektual, dan perlindungan hak
pribadi yang terdiri dari pasal 23, 24, 25, 26.
Bab 7 mengatur
tentang perbuatan yang dilarang dalam penggunaan teknologi informasi, terdiri
dari 10 pasal, dari pasal 27 hingga pasal 37.
Bab 8 mengatur
lanjutan dari perbuatan yang dilarang, yakni tindak penyelesaian sengketa.
Terdiri dari pasal 38 dan pasal 39.
Bab 9 megatur
tentang peran pemerintah dan peran masyarakat dalam menyikapi perkembangan dan
dinamika ITE di Indonesia. Terdiri dari pasal 40 dan pasal 41.
Bab 10 membahas
tentang proses dan prosedur penyidikan yang akan dilakukan dalam kasus
pelanggaran UU ITE. Terdiri dari 3 pasal, yakni 42, 43, dan 44.
Bab 11 mengatur
tentang ketentuan pidana yang dapat digunakan untuk menjerat pelanggar UU ITE.
Terdiri dari pasal 45 hingga 52.
Bab 12 membahas
ketentuan peralihan, hanya terdiri dari pasal 53.
Bab 13 berisi
ketentuan penutup yang hanya terdiri dari pasal 54.
Dari 54 pasal yang
merangkum mengenai peraturan dan regulasi UU ITE di Indonesia, terdapat
beberapa kelemahan-kelemahan. Yakni mengenai abstraknya ketentuan hukum yang
berkenaan dengan penipuan di dunia maya. Belum ada penjelasan yang memisahkan
bentuk-bentuk penipuan dan bagaimana barometer yang menakar seberapa hukuman
yang layak dijatuhkan untuk pelanggaran yang bagaimana. Hingga saat ini masih
sulit melacak dan menjerat pelaku penipuan di dunia maya.
Selain itu,
aturan-aturan yang mengikat berkenaan dengan pencemaran nama baik dan
penghinaan melalui dunia maya. Sangat absurd karena mengingat dunia maya yang
begitu bebas dan luas, sementara kriteria penghinaan dan pencemaran nama baik
itu sendiri tidak begitu jelas tergambar dalam UU ITE tersebut.
Sehingga Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) menyatakan akan memprioritaskan revisi terhadap Undang-Undang
(UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada 2013, terutama pada Pasal 27
ayat 2 tentang pencemaran nama baik.
Selain mempersiapkan revisi UU ITE, saat ini
Kemkominfo juga tengah menyiapkan RUU Intersepsi sebagai peraturan praktik
penyadapan setelah Mahkamah Konsitusi (MK) membatalkan salah satu ayat dalam UU
ITE yang menyatakan tata cara penyadapan bisa diatur dalam suatu peraturan
pemerintah (PP). dan juga memprioritaskan penyusunan terhadap beberapa regulasi
lain pada tahun ini, seperti RUU Penyiaran, RUU Konvergensi Telematika yang
diusulkan menjadi RUU Telekomunikasi (inisiatif pemerintah), dan Revisi PP
Nomor 7 Tahun 2009 tentang PNBP Kementerian Kominfo
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar